Minggu, 08 Maret 2009

Memulai Pelayanan dari Kecamatan


Oleh Ahmad Rofik
Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik Opini - Harian Serambi Indonesia edisi 28 April 2007. Sebagai tanggapan atas tulisan Muhammad Ruslan (LGA ALGAP II) edisi (27/3/2007) pada harian yang sama.

Pengembangan kapasitas, memang mudah diucapkan namun dinamikanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa pendapat menyatakan bahwa wilayah pengembangan kapasitas hanya berada pada tiga tingkatan yaitu: individu, kelembagaan dan sistem. Namun ketika ketiganya saling beririsan dan menjelma dalam sebuah momentum perubahan, maka urusan individu pun tidak tampak lagi sebagai urusan individu semata, tetapi akan bertumpang tindih dengan urusan kelembagaan, bahkan sistem. Tampaklah seperti benang kusut yang membutuhkan keahlian untuk mengurainya. Misalnya saja soal pelayanan publik di kecamatan, khususnya pada wilayah yang terkena dampak tsunami. Yang tampak adalah adanya loket pelayanan yang semua urusan pelayanan administrasi dapat diselesaikan dalam loket itu; namun dinamika prosesnya, sungguh pantas menjadi pembelajaran bersama.

Posisi Strategis Kecamatan

Posisi kecamatan sebagai lembaga antara (antara pemerintah gampong dengan pemerintah kabupaten/kota), tak jarang menjadi refference bagi contoh penyelenggaraan pemerintahan/pelayanan di desa, sekaligus sebagai represenasi informasi untuk pengambilan kebijakan pada tingkat kabupaten/kota.

Sistem pelayanan dan pemerintahan di kecamatan umumnya segera akan dijadikan model oleh pemerintahan gampong/desa. Jika kecamatan memiliki kejelasan prosedur, kejelasan persyaratan pengurusan surat-surat, kejelasan tarif kutipan, maupun kejelasan waktu pengurusan; maka bukan tidak mungkin keuchik (kepala desa) akan menirunya. Mengapa? Disamping kecamatan akan mengawasi dan mensupervisi kesiapan para Keuchik melaksanakan pelayanan publik, warga yang terbiasa mendapatkan pelayanan secara transparan akan tergerak jika mendapati praktek pelayanan publik yang tidak transparan. Bukan tidak mungkin warga akan mendiskusikan isu tersebut dan bahkan menyampaikan kepada kecamatan dan publik.

Sebagai representasi informasi, kecamatan sampai sekarang masih memiliki kekuatan rekomendasi terhadap lahirnya kebijakan di tingkat kabupaten. Kita bisa menyaksikan dari urusan yang terkecil seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), penetapan/pengangkatan Keuchik baru, bantuan untuk gampong, dan bahkan urusan pemekaran wilayah yang sangat kompleks dengan kepentingan.

Walaupun, berkembang gagasan “kemandirian gampong” namun semua tidak akan bisa dilahirkan tanpa terbangunnya praktik pelayanan dan pemerintahan kecamatan yang partisipatif, transparan dan demokratis. Salah satu argumennya karena kabupaten tidak mampu menjangkau pemerintahan gampong secara langsung; baik karena alasan keterbatasan sumberdaya manusia maupun sistem.

Memulai Praktik Pelayanan di Kecamatan

Fakta menunjukkan bahwa kecamatan yang terkena dampak tsunami, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanannya belum optimal. Beberapa saat setelah tsunami, kendala yang tampak adalah infrastruktur hancur. Setelah infrastruktur terpenuhi, mulai tampak kendala sumberdaya manusia. Pemahaman staf terhadap tugas pokok dan fungsi (tupoksi) juga tidak serta-merta terbaharui dengan tercukupinya infrastruktur, walaupun sebelumnya pemerintah kabupaten/kota telah menerbitkan SK Bupati/Walikota tentang uraian tugas dan fungsi. Suasana konflik yang terjadi sebelumnya kiranya juga menjadikan pemerintahan berjalan secara darurat.

Realitas yang terjadi sekarang ini, banyak pihak berharap agar kecamatan mampu berperan sebagai pusat pelayanan publik, baik pelayanan administasi kewargaan dan usuha, sekaligus pelayanan kepada pemerintah gampong menuju “kemandirian gampong”. Karena gampong umumnya masih belum memungkinkan (baik secara infrastruktur maupun sistem). Sementara memusatkan pelayanan pada tingkat kabupaten/kota terbukti banyak menuai kritik. Salah satunya adalah usulan pemekaran wilayah dengan dalih agar masyarakat bisa mendapatkan pelayanan lebih mudah. Usulan ini pernah dijawab dengan rencana peningkatan kualitas pelayanan dan pendelegasian sebagian kewenangan kepada kecamatan, seperti dinyatakan oleh Gubernur NAD, drh. Irwandi Yusuf, MSc. (Serambi Indonesia, 02/03).

Dalam rangka kesiapan pendelegasian tersebut, penguatan kapasitas kecamatan memiliki arti strategis. Kecamatan dituntut untuk menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan prinsip-prinsi kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan dan kenyamanan, keterbukaan/ transparan, efisiensi, ekonomis, keadilan yang merata, dan ketepatan waktu.

Tidak mudah memang mengelola kecamatan yang sedang dalam masa transisi. Walaupun sudah ada uraian tugas yang diberikan kepada staff, namun tidak jarang pemahaman terhadap tupoksi cenderung bersifat individual atau ego kelompok (seksi). Sehingga yang tampak adalah seksi pemerintahan, seksi pelayanan kesejahteraan sosial, seksi ketentraman dan ketertiban, seksi pemberdayaan masyarakat desa; apalagi perwakilan unit pelaksana teknis daerah (UPTD) di kecamatan. Gugusan kerja itu tampak se-atap tetapi tidak berjalan sinergi.

Maka yang sering terdengar adalah ada seksi basah dan seksi kering. Mengapa? Karena setiap seksi tidak bisa melihat secara transparan atas ganjaran yang diterima oleh seksi lain. Karena ada seksi yang berutugas melakukan pelayanan administratif kewargaan dan usaha, sehingga diperkenankan mengambil kutipan sesuai dengan perundangan atau “kebijaksanaan camat”; sementara terdapat seksi lain yang bekerja terus-menerus tetapi tidak ada “kemudahan” yang diperkenankan. Hal ini terjadi jika pada kecamatan yang pencatatan penerimaan kutipan tidak dilakukan secara tertib dan transparan.

Indikasinya mudah saja, jika camat mampu menjawab pertanyaan berapa jenis dan jumlah surat yang dikeluarkan pada bulan yang bersangkutan, maka setidaknya kecamatan tersebut telah melakukan pelayanan secara tertib dan transparan. Tentu ukuran berikutnya adalah berapa kutipan yang diperoleh untuk disetor kepada Kas Daerah sebagai sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun demikian, pada kecamatan yang tidak ada informasi cukup bagi masyarakat untuk mengetahui biaya yang seharusnya, maka masyarakat akan membayar dengan ukuran “sepantasnya atau seikhlasnya” atau “sesuai dengan kebijaksanaan camat”. Memang, tidak semua kecamatan mengalami kondisi seperti ini.

Adalah Kecamatan Peukan Bada dan Baitus Salam, dan segera di susul Kecamatan Lhoong di Kabupaten Aceh Besar yang mulai menerapkan Sistem Pelayanan Terpadu. Di Kabupaten Aceh Barat, Kecamatan Merebo dan segera disusul Kecamatan Johan Pahlawan; serta segera disusul Kecamatan Jaya di Aceh Jaya. Sistem ini telah memindahkan pelayanan administratif kewargaan dan rekomendasi perizinan usaha dari yang semula bertumpu pada kepala seksi, menjadi pada loket khusus yang semua pelayanan administrasi bisa diselesaikan dalam sistem tersebut secara transparan, akuntabel dan memuaskan (jelas prosedur, jelas biaya dan tepat waktu).

Masyarakat yang datang akan disambut dengan senyum oleh petugas piket, diminta mengisi buku tamu, lalu memperoleh informasi tentang jenis pelayanan berikut syarat, biaya dan kejelasan waktunya. Berikutnya masyarakat akan diarahkan pada loket pelayanan terpadu untuk menyerahkan berkas persyaratan. Selanjutnya tamu dipersilakan menunggu sejenak di ruang tunggu sambil membaca koran atau menikmati tayangan televisi di ruang tunggu. Sesuai waktu yang ditentukan, pelayan bagian penyerahan dokumen akan memanggil nama sekaligus memberitahukan jika ada kutipan yang harus dibayarkan, dan dokumen bisa segera diterimakan. Masyarakat juga tidak lagi terbebani dengan pertanyaan apakah uang yang dibayarkan akan sampai kepada kas daerah atau hilang diperjalanan, karena semuanya tercatan dan terlaporkan.

Lebih jauh tentang sistem pelayanan terpadu ini, di dalam loket terdapat seorang petugas penerima berkas yang juga berperan untuk meneliti kelengkapan persyaratan; seorang petugas database komputer yang berfungsi mengelola data dan mencetak surat; seorang petugas pengantar surat kepada kasi, sekcam dan camat; seorang pencatat agenda surat (arsiparis) yang kadang juga berperan sebagai pencatat pembayaran. Pada beberapa kecamatan peran UPTD Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) langsung diintegrasikan dalam sistem sebagai bendahara penerima kutipan. Sementara untuk mempercepat kinerja bagian database, komputer diinstal soft-ware aplikasi database pelayanan publik, sehingga petugas tinggal memasukkan data ke dalam komputer dan langsung bisa dicetak, sekaligus file diarsip secara otomatis dan mudah dipanggil kembali secara cepat.

Seperti diungkapkan di atas, pekerjaan yang sangat sederhana ini sungguh mengandung proses pembelajaran bersama bagi contoh penguatan kapasitas pemerintahan. Bagaimana tidak? Proses itu diawali dengan membangun visi kolektif aparat kecamatan. Visi kemudian diturunkan ke dalam pemahaman tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk memperoleh kejelasan posisi dan peran individuasi. Di sinilah titik kritisnya, jika berhasil maka kesadara bersama untuk melakukan pelayanan publik yang baik dapat terwujud; tetapi jika tidak maka munculnya istilah “bagian mata air” dan “bagian air mata” akan tetap langgeng. Sudah pasti untuk dinamika perubahan ini dibutuhkan kerelaan pihak yang selama ini telah merasa mapan dalam sistem lama, untuk berubah menuju sistem baru.

Benturan inovasi versus kejelasan panyung hukum pun kerap kali menyeruak. “Kami ini kan hanya aparat yang melaksanakan kebijakan Kabupaten. Jika tidak ada panyung hukum mana mungkin kami berani melaksanakan hal-hal baru” kata camat. Adalah Dr. Tgk H. Bucahari Daud, M.Ed, Bupati Aceh Besar yang segera merespon kegalauan “camat inovator’ akan landasan hukum pelayanan terpadu ini dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Nomor: 31 tahun 2007 tanggal 12 Maret 2007, tentang Standar Pelayanan Minimal Kecamatan dalam Kabupaten Aceh Besar. Kebijakan ini memuat dasar hukum dan jenis pelayanan yang diselenggarakan di kecamatan, indikator waktu, indikator biaya yang diperkenankan untuk dikutip, indikator sifat, unit kerja dan atau pejabat kecamatan yang berwenang dan bertanggung jawab, serta persyaratan jenis dokumen.

Penguatan Tidak Berjalan Linier

Kenyataan menunjukkan bahwa dinamika proses di kecamatan; tidak bisa dengan mudah dikenali sebagi wilayah individual, kelembagaan atau sistem semata. Misalnya saja respon seorang staf UPTD yang secara struktural tidak berada di bawah camat, melainkan di bawah kepala dinas. Ketika staf UPTD diminta ikut berpartisipasi sebagai petugas pelayanan, mereka katakan “ini bukan tupoksi kami”. Namun juga bukan berarti bahwa staf UPTD/Petugas Penyuluh Lapangan tersebut telah melaksanakan tupoksi yang diberikan kepala dinas. Kusutnya persoalan ini seolah tampak sebagai persoalan sistem, namun boleh jadi justru lebih didominasi oleh persoalan individual.

Demikian pula terbitnya kebijakan yang memayungi “inovasi pelayanan publik”, tidak harus menunggu kesiapan seluruh kecamatan. Kebijakan kadang justru dapat mempercepat tumbuhnya kesadaran dan kesiapan kecamatan. Sebuah pembelajaran, bahwa penguatan kapasitas tidak mungkin dapat diskenario secara linear; --dimulai dari level individu, kelembagaan dan kemudian sistem; Kadang justru sebaliknya, berjalan secara random dan saling berkelindan. Yang terpenting bahwa penguatan kapasitas tidak berada pada ruang kosong. Karena itu diperlukan isu yang menjadi kebutuhan bersama serta momentum yang tepat, empowering by function.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar