Senin, 09 Maret 2009

Mewirausahakan APBK(D)


Tulisan ini pernah dimuat dalam www.inovasipelayanan.blogspot.com edisi 2 Februari 2009.

Umumnya Pemkab/Pemkot sedih dan tidak menerima jika DAU turun dari tahun sebelumnya. “Informasi dari pusat karena PAD Aceh Besar sudah meningkat, katanya” jelas Wakil Ketua DPRK Aceh Besar, T. Saifunsyah, SE pada Hearing RAPBK Aceh Besar 2009 yang diselenggarakan DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bertindak sebagai narasumber dalam Hearing tersebut, Saifunsyah, Iwan Sulaiman (Komisi E DPRK Aceh Besar), dan Rahcmad Adi (Sekretaris Komisi B), serta Isa; yang semuanya merupakan anggota DPRK dari fraksi PKS. Hearing ini memang baru bisa digelar sehari sebelum paripurna penetapan (Senin, 26/1), karena selama ini sidang berjalan secara marathon dan tidak ada kesempatan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Walaupun demikian dalam mekanisme pembahasan sebetulnya Fraksi PKS sudah “bertengkar” untuk melakukan transparansi ini kepada masyarakat namun ditentang oleh anggota dewan lainya, sampai ketua Fraksi PKS (Norman Hidayat) dikeluarkan dalam forum, tambah Iwan Sulaiman. Sidang Paripurna dijadwalkan dilaksanakan pada Selasa (27/1).

Sampailah pada detik terakhir sebelum penetapan, APBK Aceh Besar berjumlah Rp 560,100,698,000; dengan komposisi Belanja Tidak Langsung sebesar 69,59%, atau sebesar Rp 389,762,660,000. Jumlah tersebut banyak terdongkrak oleh kenaikan gaji pegawai sebesar 20%. Pada pos Belanja Tidak Langsung tersebut terdapat juga ADG (Alokasi Dana Gampong sebesar Rp. 36,874,600,000 atau rata-rata per gampong Rp 61.000.0000 (termasuk gaji perangkat gampong). Semetara menurut sumber di Dinas Keuangan, Pendapatan dan Pengelola Aset, advokasi LOGICA untuk Anggaran Pelaksanaan Pelimpahan Kewenangan Kepada Camat sebesar Rp 17.083.000 (tujuh belas juta delapan puluh tiga Ribu rupiah) setiap kecamatan sudah dimasukkan dalam RKA setiap kecamatan, karena kecamatan mendapatkan tambahan dana operasional sebesar Rp 20 juta per kecamatan dari pagu semula.

Sedangkan Belanja Langsung dianggarkan Rp. 170,338,038,000 atau sebesar 30,41% dari total belanja, yang didalamnya masih dibebani Rp. 23,063,079,300 untuk belanja pegawai. Jadi riil yang dibelanjakan untuk pembangunan adalah Rp 71,406,609,700 (belanja barang dan jasa) serta Rp. 75,868,349,000 (belanja modal). Jika dibandingkan tahun sebelumnya pada sisi belanja langsung terdapat penurunan. Pada tahun 2008 belanja langsung sebesar Rp 214.474.011.628. Pada APBK tahun 2009 juga terdapat pos pembiayaan sebesar Rp 33.000.0000.0000 yang bersumber dari SILPA tahun 2008. Jumlah ini sebagai cadangan atas defisit APBK 2009.
Dari sisi pendapatan jika dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya (2008) terjadi peningkatan target Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tahun 2008 dianggarkan PAD sebesear Rp. 19.384.860.000, berhasil direaliasikan Rp. 18.541.361.260 Sedangkan pada tahun 2009 ini target PAD sebesar Rp 26.385.000.000 (naik sebesar 31,59 %).
Dalam kesempatan Hearing yang dihadiri sejumlah OKP, NGO, dan masyarakat terbatas tersebut PKS mengklaim berhasil memperjuangkan pos anggaran pro rakyat yang sebelumnya tidak dianggarakan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah, yaitu:
Analisis
Pesimisme terhadap korelasi APBK dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat terbayang nyata manakala kita mendasarkan APBK sebagai satu-satunya sumber pengelolaan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataannya APBK hanya menyumbang maksimal 30%. Tahun 2004, ketika APBK baru mencapai 400an milyar, PDRB Aceh Besar sudah mencapai 2,5 T. Artinya kontribusi APBK hanya kurang dari 20% terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun demikian bukan berarti masyarakat bisa melupakan APBK. Dalam kondisi serba kekurangan tersebut selayaknya Pemerintah Aceh Besar mewirausakan pegawai yang sudah dinaikkan kesejahteraannya 20% agar produktivitasnya semakin meningkat. Misalnya pernan pemerintahn dalam meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan tidak terjabak untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menjebah itu. Bahkan jika, PAD-nya meningkat kemudian DAU menurun, justru banyak kalangan protes kepada Pemerintah Pusat.

Oleh karena itu menjadi kewajiban DPRK untuk melakukan pengawasan yang mampu memacu peningkatan kinerja eksekutif. Dewan semestinya mulai menerapkan pengawasan yang memacu eksekutif bekerja dengan ukuran kinerja, sekaligus memotivasi pegawai untuk mengembangkan inovasi dan budaya bekerja dengan target kinerja. Kinerja Dewan juga harus mampu menerobos sekat-sekat yang memungkinkan masyarakat memiliki akses langsung terhadap pengawasan anggaran. Sehingga walaupun kondisi anggaran tidak menggembirakan namun masih dapat diupakan agar terjadi trend yang lebih baik pada tahun 2009 ini.

Anggaran yang sudah compang-camping ini akan semakin buruk kondisinya manakala partai eksekusi (eksekutif) tidak merealisasikan secara baik. Namun kondisi anggaran ini masih bisa ditutup dengan pengawasan yang mengembangkan metode bekerja dan berfikir yang berorientasi pada kinerja. Kinerja bukan hanya menjadi instrument administrative seperti yang kerap kita sebut Anggaran Berbasis Kinerja, namun kinerjanya sendiri jauh dari panggang. (rofik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar